Berwisata alam, layaknya wisata pesisir atau darat sekalipun ada baiknya memperhatikan adat dan aturan yang berlaku di daerah tujuan wisata. Hal ini bisa dilakukan antara lain dengan menjaga kebersihan lingkungan seperti tidak membuang sampah sembarangan atau mengurangi pemakaian barang yang berpotensi menjadi sampah di daerah tujuan wisata.
Tidak jarang, ketika wisatawan bepergian ke daerah wisata pantai, mereka menemukan hal yang cukup mengganggu pemandangan. Yakni tebaran sampah yang tentunya cukup mengusik pandangan mata yang sejatinya ingin melihat pemandangan pantai, laut, hingga alam yang bersih. Pasir pantai yang bersih, air laut yang biru jernih, hingga pemandangan bersih sehingga menimbulkan kenyamanan saat berwisata ke daerah tersebut.
Tapi yang hadir ternyata sebaliknya. Pantai yang cukup kotor dengan beberapa plastik minuman dan makanan dibuang sembarangan, air laut yang sesekali muncul plastik di permukaan lautnya.
Apalagi sebetulnya, faktor kebersihan merupakan salah satu aspek daya tarik dari suatu obyek untuk menjadi tempat wisata. Menurut jurnal Destinasi Pariwisata 2016 lalu, Violina menuliskan bahwa kualitas kebersihan sangat berperan penting dalam menciptakan suasana lingkungan daya tarik wisata yang nyaman dan dapat dinikmati wisatawan atau pengunjung untuk dapat menilai sejauh mana kualitas kebersihan.
Namun tidak sedikit yang menyangsikan bahwa kegunaan produk sekali pakai (yang nantinya berpotensi menjadi sampah di tempat wisata) adalah hal yang praktis dan sederhana untuk dibawa bepergian. Apalagi ke daerah tujuan wisata yang notabene bukan merupakan tempat yang akan disinggahi lama, sehingga pemikiran untuk membawa barang-barang yang tidak praktis sangat jarang muncul di pikiran.
Contohnya, penulis saja ketika berkunjung ke daerah-daerah tujuan wisata pantai tentunya berpikiran berkali-kali untuk membawa jeruk (yang nantinya kulit dan bijinya bisa ditanam agar berpotensi menjadi pupuk) dibanding membawa cemilan. Cemilan ini tentu saja bungkusnya mau tidak mau banyak yang diproduksi sebagai produk sekali pakai dan akan sangat berpotensi menjadi sampah ketika dibawa ke tempat wisata. Selain karena dipikir lebih murah, cemilan praktis lebih ringan sehingga tidak memberatkan wisatawan ketika membawa barang-barang bawaannya.
Bertualang Tanpa Sampah
Namun, menjaga kebersihan tempat wisata tidak bermanfaat untuk kepentingan si pengunjung daerah wisata saat itu saja. Tapi juga menjaga kebersihan dengan tidak membuang sampah dapat memberikan manfaat berganda. Yakni menjaga lingkungan setempat dan membantu masyarakat lokal dalam menjaga kebersihan tempat tinggal mereka. Selain itu juga agar tempat wisata bisa tetap bersih dan menarik, sehingga tetap menjadi daya tarik bagi pengunjung lain yang sewaktu-waktu datang ke tempat wisata tersebut.
Jika digali lagi dari sisi kepedulian untuk kebersihan lingkungan tempat wisata, sudah banyak para traveller yang juga praktisi peduli lingkungan membagikan tips-tips mereka ketika berkunjung ke tempat wisata. Siska Nirmala adalah salah satu penjuang petualang dengan meminimalkan penggunaan produk yang berpotensi menjadi sampah di tempat wisata yang ia kunjungi. Ia berinisiatif mendaki gunung dengan membawa peralatan dan perlengkapan sehingga akhirnya tidak menimbulkan produk yang menjadi sampah di tempat ia berkunjung.
Seperti dalam bukunya Zero Waste Adventure ia menuangkan bagaimana menikmati momen mengunjungi tempat wisata tanpa memberikan efek negatif berupa sampah di tempat yang ia kunjungi. Ia memisalkan hal-hal yang ia lakukan yakni bepergian Bersama teman-teman pendakiannya untuk membagi beban peralatan dan perlengkapan pendakian. Antara lain tidak membawa botol plastik sekali pakai untuk minum dan ia ganti dengan tumblr yang selalu ia isi ulang di tempat makan atau penginapan.
Selain itu ia membawa buah seperti jeruk, apel, dan pir yang bisa memberi energi selama perjalananannya. Untuk makanan berat seperti nasi yang merupakan makanan wajib masyarakat Indonesia, ia Bersama timnya membawa beras yang akan direbus dalam pendakian. Lauknya, ia pilih dalam bentuk kering seperti tempe kering dan ikan asin yang dikemas dalam tempat makan yang ia bawa dalam rumah. Alhasil dalam pendakian mereka tidak ada sampah bungkus sekali pakai yang menjadi sampah, dan sampah organik hasil pendakian mereka tanam atau bawa pulang untuk dijadikan pupuk.
Hal yang pelan-pelan pun dilakukan oleh penulis yang selalu memilih bepergian secara backpacker. Yang menjadi tantangan tentu saja, wisata pesisir atau pantai lebih sering dilakukan secara solo atau solo traveling dan duo atau duo traveling sehingga kadang untuk saling membagi beban perlengkapan dan peralatan menjadi hal yang dipikirkan masak-masak oleh penulis. Alhasil, cara paling praktis untuk menerapkan minim sampah yang dibawa ke tempat wisata adalah dengan menikmati konsumsi lokal serta membawa tumblr dan tempat makan sendiri.
Kehadiran tumblr minum dan tempat makan sendiri bisa diisi ulang di bandara, penginapan, atau rumah makan. Menikmati makanan bisa dilakukan di rumah makan lokal yang tidak memaksimalkan penggunaan produk sekali pakai. Atau membeli makanan di pasar lokal dan memberanikan diri untuk ‘perang’ tawar harga dengan pedagang lokalan. Karena tidak menampik, kadang kala harga konsumsi makanan langsung di daerah wisata umumnya jauh lebih tinggi dari anggaran yang sudah ditetapkan ketika ingin bepergian.
Misal saja, ketika berkunjung ke suatu pantai dengan fasilitas penginapan dan fasilitas pendukung lainnya seperti rumah makan, tentu ditawarkan harga yang lebih tinggi dibanding penginapan jauh dari tempat wisata pantai tersebut. Alhasil, untuk meminimalkan penggunaan anggaran kunjungan sambil tetap bisa berinteraksi dengan masyarakat lokal, hal-hal kecil ini bisa cukup membantu.
Otomatis, mencoba menikmati kenyamanan tempat wisata juga ditambahi dengan membantu masyarakat lokal melalui pembelian makanan lokal. Selain itu, tentu saja petualangan baru ketika mengobrol dengan masyarakat, mencari tahu harga produk makanan yang dijual, ataupun nantinya membeli oleh-oleh sekitar tentu memberikan sesuatu yang bernilai ketika dibawa pulang dari tempat wisata.
Kepedulian seperti inilah yang coba dituangkan oleh berbagai praktisi lingkungan yang bisa dikolaborasikan dengan ekonomi masyarakat. Dimana di satu sisi pengunjung wisata yang peduli lingkungan bisa menerapkan kegiatan wisata mereka dan menikmati setiap momennya sambil tidak membuang sampah. Disisi lain, ada manfaat ekonomi yang bisa terjalin dengan pengelolaan produk yang berpotensi menjadi sampah nantinya.
Bentuk kegiatan ini termasuk dalam rangkaian ekonomi sirkular (circular economy) yang coba dikembangkan di Indonesia. Ekonomi sirkular sendiri, menurut pengertian singkat yang dikatakan Benny Tjahjono, Professor of Supply Chain Management, Coventry University yaitu bagaimana memaksimalkan suatu produk selama mungkin sehingga tidak menjadi sampah. Sehingga, jikapun ada kegiatan di masyarakat untuk memanfaatkan suatu produk, adalah bagaimana produk bisa digunakan selama mungkin.
Hal yang coba Benny kembangkan bersama timnya melalui kerjasama dengan petani sayur mayur di kawasan Jawa Barat. “Yaitu bagaimana sayur mayur yang dipanen nantinya bisa dikemas dengan baik sehingga bisa meningkatkan daya tahannya sebelum sampai ke konsumen. Dengan lamanya daya tahan sayuran diharapkan bisa meminimalisir sayuran busuk, tidak termanfaatkan, yang bisa menjadi sampah,” ungkap Benny ketika ditemui dalam rangkaian acara The 3rd Indonesia Circular Economy Forum bertema “Towards a Sustainable Future through Circular Business Practices” beberapa waktu lalu di Jakarta.
Penerapan ekonomi sirkular pun diyakini bisa dikembangkan melalui kegiatan wisata di suatu daerah. Dalam meningkatkan kesadaran masyarakat, baik wisatawan maupun masyarakat lokal, banyak pula tindakan yang sudah dilakukan oleh orang-orang yang memang peduli terhadap hal ini. Antara lain di Bali, siapa tidak kenal Bali yang sudah kadung populer di masyarakat dunia sebagai tempat wisata. Baik itu wisata alam seperti pantai, kuliner, hingga budayanya.
Di Bali ini, yakni di Desa Kedes, terdapat kolaborasi dengan pihak Packaging Recycling Alliance for Sustainable Indonesia (Praise). Ketua UMUM Praise Sinta Kaniawati ketika ditemui di tempat yang sama mengatakan, untuk membangun sistem pengelolaan sampah yang keekonomiannya berkelanjutan, dengan memaksimalkan manfaat daur ulang dan lingkungan, menciptakan lapangan kerja dan memberdayakan komunitas lokal, serta mempercepat transisi ke ekonomi sirkular (circular economy).
Menurutnya pula, menyadari kondisi geografis Indonesia sebagai negara kepulauan dengan banyak pantainya memungkinkan tingginya potensi wisata pesisir dan pantai. Disisi lain, juga menimbulkan suatu kondisi pemakaian produk sekali pakai yang berujung menjadi sampah karena belum adanya pengelolaan sampah yang mumpuni di banyak daerah di Indonesia.
“Di Bali ini kita pelan-pelan berkolaborasi dengan masyarakat. Kita mulai dari langkah kecil dulu dengan desa percontohan ini. Harapannya tentunya nanti bisa dikembangkan dan dilakukan di daerah lainnya,” terang Sinta.
Lantas, sebagai wisatawan pesisir tentu terpikir sudah apa manfaat yang bisa diberikan kepada tempat wisata yang dikunjungi. Yakni, mencoba mengurangi membawa produk sekali pakai yang berpotensi menjadi sampah ketika berkunjung ke tempat wisata. Antisipasinya, yaitu mencoba membeli langsung di tempat wisata.
Dan jikapun hal ini tidak terelakkan, bisa pula mencari tahu apakah di tempat wisata tersebut tersedia pengelolaan sampah daur ulang atau tempat terdekat daur ulang sampah. Sehingga ada jaminan produk yang berpotensi menjadi sampah nantinya bisa didaur ulang. Dan yang paling mudah adalah mencoba memanfaatkan produk yang bisa didaur ulang atau bisa termanfaatkan kembali setelah digunakan.
Sehingga ketika berkunjung ke pantai pun, tidak hanya membawa kenikmatan dari kenyamanan mengunjugi tempat wisata. Tapi juga ada kelegaan dan kepuasan bisa membantu menjaga kebersihan lingkungan dan memberi manfaat untuk wisatawan selanjutnya.