Pariwisata berkelanjutan atau sustainable tourism dinilai sebagai aspek terpenting bagi pengembangan sektor pariwisata di era kenormalan baru pascapandemi COVID-19. Aspek tersebut diterapkan seiring kebijakan protokol kesehatan yang ditunjang oleh kesiapan-kesiapan di daerah-daerah tujuan wisata.
Plt. Deputi Bidang Sumber Daya dan Kelembagaan Kemenparekraf/Baparekraf Frans Teguh saat Webinar dengan Asosiasi Profesor Indonesia (API) Senin (1/6/2020) menjelaskan, pariwisata berkelanjutan akan menjadi sebuah pilihan dan konsekuensi dari bagian pengembangan pariwisata, setelah pandemi COVID-19.
“Ke depan yang perlu kita perkuat yakni bagaimana pariwisata berpusat kepada manusia atau people-centered tourism atau community based tourism yang mencakup peningkatan diversifikasi produk, pelayanan sesuai dengan kebutuhan perilaku masyarakat, pola pelayanan seta upaya meningkatkan kekuatan kearifan lokal yang akhirnya menjadi unique selling point. Hal itu yang harus dijaga, dirawat dan dikelola dengan dukungan kualitas sumber daya manusia ke depan. Selain itu perlu diterapkan nilai keberlanjutan domestik seperti resiliens dan kearifan lokal, serta pariwisata yang berkeseimbangan,” kata Frans Teguh.
Lebih lanjut, Frans Teguh mengambil contoh Pulau Bali, yang diharapkan menjadi provinsi yang siap apabila di buka sektor pariwisatanya secara bertahap. Karena relatif mulai lebih aman dan trend menunjukkan pengendalian dan penanganan krisis ini sesuai dengan protokol kesehatan dan keselamatan. Selain itu, lantaran masyarakat Pulau Dewata memiliki kesadaran kolektif, kearifan lokal sejak lama dan tetap masih menjaga dan merawat modal sosial seperti tehadap nilai adat istiadat, tradisi, budaya, dan lingkungan. Tentu juga bagi daerah-daerah lain yang memenuhi kriteria penanganan pandemi yang masih produktif dan aman Covid.

“Bali menjadi model atau contoh untuk menjadi model nasional. Bagaimana masyarakatnya memiliki kesadaran kolektif yang relatif tinggi, dan selalu belajar dari krisis ke krisis, selalu masih berupaya mempertahankan keseimbangan. Bali berkembang dan bertransformasi dalam bidang pariwisata sejak lebih dari 100 tahun yang lalu. Jadi proses transformasi sosial dan budaya tersebut sudah menjadi kekuatan entitas social capital dan keberlangsungan kehidupan,” katanya.
Frans juga menjelaskan, untuk menerapkan pariwisata berkelanjutan lebih luas dibutuhkan kerja sama dari seluruh pemangku kepentingan pariwisata. Saat ini, para pihak pariwisata memiliki momentum untuk membenahi, menata dan menyiapkan strategi dan langkah reopening atau rebound pemulihan pariwisata. Pemerintah menawarkan konsep dan strategi untuk mengaplikasikan skema dan pola pengembangan pariwisata berkelanjutan dengan parameter dan indikatornya secara komprehensif termasuk dalam upaya penanganan krisis dan aspek kebersihan, kesehatan dan keselamatan.
“Progran pariwisata berkelanjutan bukan hanya kerja sektoral, tapi harus menyeluruh baik masyarakat, pemerintah, akademisi, dan lainnya, atau yang biasa kita sebut pentahelix. Berbagai disiplin ilmu dan stakeholder harus bekerja bersama-sama dan memperbaiki aspek tata kelola, aspek ekonomi, sosial budaya dan lingkungan untuk meningkatkan daya saing, reputasi dan kepercayaan publik serta nilai keberlanjutan sumber daya kepariwisataan,” ujarnya.
Pada kesempatan yang sama, Ketua Umum API Prof Ari Purbayanto menjelaskan, sejak pandemi COVID-19, sektor pariwisata sangat terdampak. Oleh sebab itu API ikut memberikan sumbangsih pemikiran ide-ide dan aksi langsung. Sehingga pemikiran itu bermanfaat bagi bangsa dan negara untuk masyarakat Indonesia.
“Pariwisata menjadi salah satu ujung tombak buat Indonesia. Banyak hal-hal yang perlu disiapkan di masa relaksasi sektor pariwisata ini. Masyarakat harus siap mengantisipasinya, sehingga bisa lulus menghadapi masalah yang berkelanjutan. Tentunya dengan menerapkan protokol kesehatan sehingga COVID-19 bisa tertangani di Indonesia,” ujarnya.