Menikmati satu setengah hari di Nusa Lembongan dan Nusa Ceningan adalah saatnya menikmati hari dalam keramaian, menunggui senja pantai dengan minuman dingin, serta saatnya menghapus kantuk pagi dengan meloncat dari tebing ke dalamnya lautan.
Senja itu, adalah saat sore Kelingking Beach, Nusa Penida sebelum esok paginya melanjutkan perjalanan. Waktu sore yang tersisa pun dilakukan dengan menikmati buaian kemolekan sunset sore itu, yang perlahan dan pasti matahari kembali tertelan di ujung bumi. Menampakkan sekilas demi sekilas jejak bintang yang mulai meramaikan langit.
Setelah itu, saatnya mengkhawatirkan hal lainnya, yakni bagaimana pulang ke penginapan karena tentu malam akan menemani perjalanan pulang.
Benar saja, saat napas baru saja teratur setelah melalui pendakian tebing, jalanan sudah gelap. Yang terlihat hanyalah cahaya lampu kendaraan pengunjung pantai yang bernasib sama, ingin beranjak pulang ke penginapan masing-masing. Ingin memantau jalan pulang melalui peta smartphone, baterainya sudah menipis. Alhasil, penunjuk jalan yang sedari sore diperhatikan ada di persimpangan pun menjadi tumpuan ditambah harapan bahwa wisatawan yang berkendaraan sepeda motor juga bertujuan sama, kembali ke arah Toya Pakeh.
Dalam gelapnya malam, khususnya pagi pengendara motor tunggal, pastinya tersirat ketakutan pula, karena jalanan terbilang sepi bila tidak ada kendaraan wisatawan yang melintas. Sampai akhirnya banyak dari wisatawan dengan sepeda motornya berbelok ke arah yang berbeda dari penunjuk jalan ke arah Toya Pakeh. Memang di Nusa Penida yang terdekat dengan Kelingking Beach ini juga terdapat beragam penginapan. Karena wilayah ini dekat dengan Dermaga Banjar Nyuh, salah satu dermaga tempat berlabuh kapal-kapal penumpang dari Sanur.
Karena merasa sudah pasrah, daripada tersesat, acuan penduduk setempat pun menjadi andalan. Sebelumnya, saat pergi ke arah Kelingking Beach dari arah Gamat Bay, tempat pembelian bahan bakar sepeda motor ala masyarakat menjadi tempat mengobrol sembari bertanya arah. Sayangnya saat jalan pulang, tempat pengisian bahan bakar ini sudah tutup. Alhasil, ketika menemui persimpangan yang cukup ramai pemuda berkumpul merupakan sandaran tepat untuk bertanya arah.
Keramahan dan penjaminan keamanan pemuda lokal ini sedikit melegakan pula ketika harus melanjutkan jalan pulang. Tentu saja, karena jalanan ini cukup jarang ditemui lampu jalan. Yang membantu justru lampu-lampu dari rumah penduduk lokal atau kendaraan yang melintas. “Mau ke arah mana? Toya Pakeh? Kalau ke arah Toya Pakeh, nanti ikuti saja arah sini, nanti ketemu persimpangan, ke arah selanjutnya. Tenang saja, aman kok,” jawab salah satu pemuda ketika ditanya arah jalan sembari memberikan senyuman pasti.
Akhirnya, setelah bertukar senyuman dan terima kasih, perjalanan pulang dilanjutkan dengan kecepatan standar. Beberapa waktu kemudian, setelah hapal bangunan-bangunan dan persimpangan di dekat penginapan, perasaan lega pun menghampiri. Tanpa memikirkan apapun lainnya, mencapai penginapan langsung saja mandi dan makan.
Badan yang letih pun mengajak diri untuk istirahat. Namun, memikirkan perjalanan esok paginya untuk lanjut ke Nusa Lembongan, penginapan pun menjadi salah satu hal yang dipikirkan. Diputuskan akhirnya penginapan di Nusa Lembongan semacam dorm yang menjadi pilihan melalui aplikasi online. Setelah penginapan didapat, badan yang letih pun diajak istirahat sampai esok pagi.
Rental motor yang aman
Esok paginya, sepeda motor rental pun dikembalikan dan dengan menaiki kapal dari Pelabuhan Toya Pakeh pula, perjalanan dilanjutkan ke Nusa Lembongan. Sekitar 30 menit perjalanan ditempuh dengan kapal motor yang berukuran relatif kecil, yang bisa memuat sekitar 10 orang.
Dan kali ini kapal berlabuh di dermaga arah timur Nusa Lembongan, dekat dengan Jembatan Kuning (Yellow Bridge) yang menghubungkan Nusa Lembongan dengan Nusa Ceningan. Ketika sampai di dermaga, rental motor menjadi andalan pula untuk transportasi keliling Nusa Lembongan dan Ceningan.
Setelah ditelusuri melalui peta smartphone, tempat penginapan yang sudah dipesan ternyata berada di daerah barat Nusa Lembongan yang dekat dengan Mushroom Bay. Otomatis perjalanan dengan sepeda motor pun bisa ditempuh dalam waktu sekitar 20 menit.
Rasa boat lag (slang dari jet lag untuk kendaraan laut) mungkin menghampiri. Rasa kantuk semalam ditambah harus menempuh perjalanan pagi ini lewat laut ternyata membuat kesadaran cukup terganggu. Istirahat di warung makan terdekat menjadi pilihan sembari memesan minuman ringan untuk dinikmati.
Sambil menunggu kesadaran kembali, pemandangan di sekitar dermaga, jembatan, beserta kegiatan manusia di sekitarnya menjadi obyek yang menarik. Layaknya rental motor menawarkan jasa kepada wisatawan yang baru datang melalui kapal yang berlabuh. Atau layaknya wisatawan-wisatawan yang sebetulnya tidak bisa mengendarai sepeda motor, tapi demi transportasi yang mudah dan murah didapat, mereka pun menyewa motor sembari sambil belajar mengendarainya.
Di satu sudut warung makan terdapat wisatawan asing perempuang yang tersenyum sendiri melihat ke arah jembatan. Ternyata dia tersenyum geli melihat rombongan wisatawan yang nyata-nyata belum atau tidak terlalu lihai mengendarai sepeda motor. Benar saja, tampak ada sosok wisatawan laki-laki yang masih berusaha mengontrol gas-rem di sepeda motor matic yang ia sewa. Ibu si pemilik warung tempat bersantai pun sempat bergumam, “Hati-hati saja…belum bisa naik motor kayaknya”. Dan, kejadian unik pun terjadi. Sang laki-laki terpeleset antara gas-rem sehingga ia dan perempuan yang ia bonceng terpeleset ke samping. Yang adapun membuat si perempuan wisatawan asing yang tadi senyum-senyum agak tersedak menahan tawa. Ya sudahlah, lumayan bagi mereka untuk belajar, dan lumayan sudah cukup memberi warna melalui senyum dan tawa hari ini.
Hal yang cukup menarik dari wisatawan perental yang tidak bisa naik motor adalah karena untuk rental motor di pulau-pulau kecil seperti ini tidak dipersyaratkan untuk memiliki surat izin mengemudi (SIM). Yang dibutuhkan adalah sistem kepercayaan, jika tidak ingin sepeda motor yang disewa rusak, sebelum menyewa hendaknya dicek kelaikan jalannya. Dan uang rental pun dibayar dimuka.
Disisi lain jasa rental motor mendapat rasa aman dengan sistem komunikasi yang terjalin antar masyarakat lokal, khususnya sesama jasa rental motor. Biasanya jasa rental motor sudah saling kenal antara satu dan lainnya dimanapun rental berada. Jadi jika ingin mengembalikan sepeda motor di tempat yang berbeda dari tempat penyewaan aslinya, pemilik rental motor akan lumrah. Mereka akan mengambil ke tempat penitipan tadi dengan ongkos tambahan dari rental motor. Bagi mereka yang penting informasi ini jelas diberitahu kapan dan dimana sepeda motor ditinggalkan.
Penasaran Devil’s Tear
Tak menyiakan waktu pagi sebelum check in ke penginapan, destinasi tercepat ke tempat wisata pun langsung dituju. Yaitu Devil’s Tear dan Dream Beach. Lokasi pantai ini arahnya berdekatan sehingga ketika selesai meluncur dari Dream Beach, Devil’s Tear langsung menjadi lokasi selanjutnya.
Secara umum, Dream Beach merupakan suatu spot pantai kecil yang menawarkan keindahan pantai layaknya pantai. Yakni pantai berpasir putih, pemandangan laut biru, spot-spot foto di dekat tebing pantai, hingga tempat bersantai di sekitar pantai berupa pondok makan ataupun untuk tempat berteduh.
Dan karena waktu yang dipilih untuk meluncur ke pantai ini adalah di waktu-waktu liburan pertengahan tahun, maka banyak pula wisatawan yang datang. Urusan sejenak menikmati pagi bolehlah dilakukan sambil sesekali mengamati tingkah laku wisatawan yang datang. Cukup menghibur melihat senyum atau mendengar obrolan mereka yang asing di telinga. Karena memang, di waktu-waktu ini lebih banyak wisatawan asing yang datang dibandingkan wisatawan domestik.
Selepas beberapa waktu, rasa penasaran akan Devil’s Tear pun membahana. Penasarannya, mengapa lokasi ini dinamakan dengan Air Mata Setan (Devil’s Tear), apakah tempatnya menyeramkan penuh dengan hal gaib? Setelah mencapai lokasi, hanyalah ketakjuban yang muncul. Sehingga memunculkan banyak teori di pikiran ini, melihat kontur lokasinya, ditambah beberapa informasi yang dibaca dari internet. Bentuknya merupakan rangkaian tebing yang agak melingkar di satu sudut tepian laut, sehingga deburan ombak yang melewati tepian tebing ini bisa memunculkan deburan ombak yang tinggi. Apakah karena bentuk lokasinya yang agak melingkar sehingga memunculkan teori seperti tetesan air mata? Hanya teori semata saja.
Melangkah melihat sekeliling bebatuan di tepian tebing, wisatawan pun banyak yang berfoto di sekitar tepi tebing. Waktu yang ditunggu adalah ketika ombak bergemuruh hebat, ketika menabrak tepian tebing, memunculkan loncatan tetesan-tetesan air laut yang tinggi dari tepian.
Seakan-akan ketika deburan ombak tinggi dan bergemuruh ketika menabrak lingkaran tebing ini memunculkan suara ‘mengerikan’. Namun setelah gemuruh reda, yang tersisa hanyalah tetesan air laut yang berjatuhan ke bumi. Seperti hujan sesaat, memunculkan seperti gemuruh marah yang diakhiri dengan tetesan air mata. Membuat pikiran ini sedikit melayang mengapa kira-kira bisa disebut Air Mata Setan.
Sunset, minuman dingin, dan Jungutbatu
Ketika siang sudah beranjak, alternatif yang dituju adalah ke penginapan. Dengan memanfaatkan aplikasi peta, sepeda motor pun diajak berkeliling dari arah timur menuju arah barat Nusa Lembongan. Penginapan ini cukup mengejutkan karena lokasinya agak masuk melalui gang dan tersembunyi dari keramaian jalanan. Bagi yang mencari kenyamanan dan kesunyian, ditambah harga yang pas di bujet, penginapan ini bisa menjadi acuan bagi para backpacker.
Apalagi keramahan yang ditawarkan si pemilik penginapan bersama staf yang bekerja. Sedikit banyak, obrolan pun tumpah dari staf penginapan. Ditambah segelas air dingin yang diberikan sebagai bentuk pelayanan. Seakan-akan menyejukkan otot-otot tubuh yang merasa cukup gerah dalam perjalanan ditambah hari yang cukup terik hari itu.
Setelah mendapat tempat tidur bersama tiga orang lainnya (yakni satu kamar diisi empat orang dengan ranjang bertingkat dua), pilihan untuk menjelajah lagi pun ditempuh. Apalagi cukup satu hari ini saja waktu yang dibutuhkan untuk berkeliling Nusa Lembongan. Sembari menikmati sore dan menunggui sunset. Pantai Jungutbatu menjadi pilihan setelah menimbang beberapa spot sunset yang terdapat di Nusa Lembongan.
Perjalanan pun cukup mengasyikkan karena sepanjang jalan memiliki kontur yang berbeda. Ada titik yang menarik dimana jalan melalui tebing yang menghadap ke lautan. Beberapa wisatawan yang mengendarai sepeda motor sempat memarkirkan motornya di tepian jalan yang cukup aman. Mereka kemudian berpose di tepian jalan sambil dilatarbelakangi pemandangan laut yang aduhai dari kejauhan.
Tidak itu saja, ternyata mencapai Jungutbatu, keramaian pun sudah menyambut. Sisi ini merupakan salah satu sisi yang ramai dengan aktivitas wisata di Nusa Lembongan. Begitu banyak penginapan, rumah makan, kafe, bar, hingga tempat oleh-oleh untuk memanjakan aktivitas wisatawan. Mencapai pantai pun sebetulnya cukup mudah diakses karena kontur pantai ini sangat panjang. Dibalik bangunan-bangunan tepian pantai ini, disediakan akses jalan seukuran mobil hingga gang-gang kecil seukuran motor untuk mencapai pantai dari jalan raya.
Alhasil sore yang terik pun dinikmati dengan menyesap minuman dingin dan cemilan di sebuah warung. Banyak para wisatawan yang berjalan-jalan sekitar pantai, berjemur, hingga berenang di sekitar tepian pantai. Atau hanya menikmati minuman dingin sambil duduk beralaskan tikar di atas pasir putih Jungutbatu, ditemani payung besar atau topi yang melindungi dari panas.
Kedamaian sore itu akhirnya pun diakhiri dengan mencari spot untuk menikmati matahari terbenam. Duduk di tengah-tengah pasir ditemani semilir angin sore, tampak beberapa wisatawan yang juga tampaknya akan menikmati sunset dengan juga duduk-duduk di pasir pantai. Bahkan ada beberapa pengunjung pantai mengajak anjing peliharaan untuk berjalan-jalan menikmati sore itu.
Warna jingga yang kemudian beranjak berganti menjadi semburat wewarnian membuat jiwa cukup tenang. Rasa lelah beberapa hari ini menempuh perjalanan pun cukup tergantikan dengan pemandangan luar biasa seperti ini. Hingga akhirnya mentari pun sudah berganti malam. Waktunya pulang menikmati istirahat malam ini.
Sesampainya di penginapan pemilik penginapan pun membuka obrolan. Banyak cerita yang ia gambarkan mengenai pengalamannya memulai bisnis terkait wisata pantai ini.
Ia pun memiliki akses bagi wisatawan yang ingin menyewa motor atau memesan tiket kapal untuk ke pulau lainnya, seperti Nusa Penida hingga ke Bali. Sedikit banyak ia bercerita jika ingin menempuh perjalanan ke Bali, Jungutbatu menjadi salah satu alternatif pelabuhan yang paling dekat.
Dengan referensi ini dan masukan teman yang tinggal di Bali, transportasi kembali ke Bali pun akan ditempuh melalui Jungutbatu. Apalagi ternyata pemesanan kapal di pelabuhan bisa dilakukan secara online, tidak perlu beli langsung di pelabuhannya. Di sana tinggal menukarkan hasil transaksi online dan tinggal menunggu waktu pemberangkatan. Malam itu, transaksi online pun dilakukan sambil beristirahat sambil menentukan tujuan pagi-pagi selanjutnya.
Bangun pagi kuterus…Lompat!
Dan paginya, sebelum matahari muncul, persiapan pun dilakukan. Apalagi kalau bukan untuk mencari spot sunrise. Bagi para penikmat wisata pantai atau pesisir, memang waktu-waktu seperti sunset dan sunrise menjadi waktu yang spesial karena di saat-saat inilah alam memberikan nuansa lain dari suatu obyek wisata. Apalagi bagi yang sudah terbiasa menjadi sunrise and sunset hunter. Spot matahari terbit diputuskan merupakan spot di pulau selanjutnya, Nusa Ceningan. Menerobos dingin pagi itu, ditemani beberapa sepeda motor warga yang mulai beraktivitas, perjalanan ke Nusa Ceningan pun dimulai.
Melewati Yellow Bridge, peta smartphone menunjukkan spot sunrise tidak jauh lagi. Yakni di Bias Munjul. Di sudut timur ini merupakan salah satu sudut yang memberikan sudut yang tertata untuk kegiatan wisata. Namun, pemandangan kapal-kapal yang beragam bentuknya justru membuat pemandangan pagi ini terasa cukup menarik. Ada suatu sudut ketika mentari terbit, gazebo yang dibangun agak ke tengah di atas permukaan laut menjadi tambahan pemandangan di pagi itu.
Lokasinya agak dekat dengan rumah penduduk, yang sepertinya sudah terbiasa dengan kedatangan wisatawan. Apalagi bagi yang mencari spot foto. Sehingga ketika hendak mengucapkan salam permisi untuk mengambil foto, mereka pun tersenyum paham.
Setelah puas menyaksikan matahari yang perlahan naik kembali ke bumi, spot selanjutnya pun menjadi tujuan. Mahana Point, lokasi ini berada di sudut pulau Ceningan yang menawarkan sensasi berbeda dari tempat wisata kebanyakan. Tempatnya berupa bar atau kafe yang berlokasi di tepian tebing sehingga menawarkan pemandangan langsung ke arah laut. Otomatis ketika duduk di bangku kayu paling dekat ke tepiannya, laut pun langsung menyambut. Siap tidak siap sesekali air laut hasil pantulan deburan ombak akan mencapai tempat ini. Jadi, jika memilih duduk di tepian bar, bersiaplah untuk basah!
Pagi itu, karyawan di Mahana Point sedang bersiap-siap untuk membuka bar nya, karena bar ini sudah buka dari pagi hari. Tidak hanya menawarkan pemandangan dan makanan/minuman, bar ini pun menawarkan sensasi adrenalin bagi yang menyukai tantangan. Yakni, spot melompat tinggi dari tepian tebing langsung ke laut lepas (Mahana Point Cliff Jump). Penasaran, ketika ditanyakan apa sudah boleh melompat dari tebingnya dari pagi hari, salah satu karyawannya menjawab, “Sudah”. Jawaban yang cukup memuaskan bagi yang ingin langsung ‘mandi’ dari tepian tebing.
Spot melompat dari Mahana Point ini ada dua spot, yakni yang lebih rendah, sekitar 5 meter dari atas permukaan laut. Atau yang lebih tinggi, sekitar 10 meter dari atas permukaan laut. Karena merasa adrenalin belum sempurna untuk ketinggian 10 meter, 5 meter pun menjadi acuan untuk ‘mandi’ di pagi hari. Walaupun harga yang dipatok untuk sekali melompat akan berbeda antara kedua spot. Spot yang lebih rendah, harganya pun akan lebih rendah dibanding spot lompat yang lebih tinggi.
Memilih waktu di pagi hari bisa menjadi acuan bagi yang ingin mencoba melompat dari spot ini untuk memuaskan tantangan, tapi malu jika dilihat orang banyak. Ya, karena di pagi hari biasanya pengunjung akan cukup sepi, dan di laut pun bisa jadi hanya satu dua orang yang melakukan aktivitas pagi hari seperti berselancar.
Kembali ke soal lompat melompat biar bangun pagi dan terus ‘mandi’, bila merasa adrenalin belum terlalu berani untuk di 10 meter, 5 meter pun cukup dirasa memberikan sensasi menantang. Karena bukan hanya soal lompatannya, tapi ketika berada di dalam lautnya. Karena langsung berhadapan dengan ombak lautan lepas. Apalagi jika tidak bisa berenang, karyawan bar akan tidak menganjurkan untuk melakukan lompatan. “Bisa berenang kan?” tanya karyawan bar kepada pengunjung yang ingin melompat.
Ya, selain ingin ‘mandi’ di pagi hari, tentunya segala persoalan bisa dilupakan sejenak dengan melakukan lompatan ini. Berteriak lepas, dengan hanya ombak lautan yang mendengar, serta asinnya air laut yang membilas rasa, cukup memudarkan rasa lelah dan pikiran yang menghadang. Bisa jadi benar, karena sehabis lompatan, mata ini pun langsung segar bugar menatap hari yang akan datang.
Puas menikmati pagi di Mahana Point, Blue Lagoon pun menjadi spot populer lainnya bagi wisatawan. Lokasi ini berupa tebing dengan pemandangan air laut di bawahnya. Bila air laut sedang bersahabat, banyak pula wisatawan yang menantang diri dengan melompat dari salah satu spot melompat dari tebing di tempat ini.
Tidak itu saja, konturnya yang aduhai membuatnya menjadi salah satu spot foto populer di kalangan wisatawan. Tidak sedikit yang berpose di tepian tebing dengan latar pemandangan Blue Lagoon yang populer.
Sedikit banyak waktu pun terus beranjak, sehingga tidak dirasa pagi ini mengharuskan diri untuk kembali ke penginapan sebelum bersiap-siap kembali pulang. Bercakap-cakap dengan karyawan penginapan pun menjadi penghibur hari sembari menikmati sarapan sederhana yang disiapkan dari penginapan. Siangnya, setelah berpamitan dan berucap terima kasih kepada pemilik penginapan beserta karyawannya, perjalanan pun dilanjutkan ke Jungutbatu.
Sebelumnya, informasi sudah dibagikan kepada pemilik rental motor bahwa motor akan ditinggalkan di Pelabuhan Jungutbatu. Tidak berapa lama memarkirkan motor di dekat tempat penjualan dan penukaran tiket kapal, seseorang pun menghampiri dan mengenalkan diri untuk mengambil motor. Setelah kelegaan bahwa motor sudah dikembalikan, waktu menunggu pemberangkatan kapal pun terasa cukup membosankan.
Minuman dingin seperti kopi dingin pun menjadi alternatif di kafe terdekat dengan tempat pembelian tiket kapal. Sambil bercakap-cakap dengan karyawan kafe, sedikit pengalaman pun saling dibagikan. Sampai akhirnya tibalah waktu kapal ke Bali. Percakapan singkat pun terpaksa diakhiri dengan senyuman, sembari menoleh ke arah pantai dan aktivitas di sekitarnya. Itulah perjalanan dua setengah hari di tiga Nusa, semoga saja di lain hari bisa kembali lagi sambil menjelajah sisi lain ketiga pulau ini. Semoga!